Jumat, 20 Maret 2009

Peran Pemuda dalam 20 Tahunan Siklus Nasionalisme Indonesia (Refleksi 75 tahun Soempah Pemoeda, 1928-2003)

oleh: Nia Atmadianing Meigawati

Ringkasan

Peran nyata para pemuda dan mahasiswa dalam 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali、dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya orde reformasi 1998. Kapan dan apa visi & misi pemuda di kebangkitan nasional ke-6 yang akan datang?

Pendahuluan

Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Mahasiswa sebagai inti dari generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan peran nyata para pemuda/mahasiswa dalam 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali.

Widodo Dwi Putro, peneliti LP3ES Jakarta, mengupas tentang nasionalisme di rublik opini Kompas, Rabu 11 Juni 2003 dengan baik, lewat tulisan berjudul “Nasionalisme Gelombang Keempat”. Widodo mendefinisikan nasionalisme sebagai sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya.

Namun, secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu, lanjut Widodo. Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya. Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para mahasiswa dan pemuda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya.

Nasionalisme Gelombang Pertama: Kebangkitan Nasional 1908

Berdasarkan sejarah, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di Djakarta.

Tahun dan nama organisasi sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia, masih menjadi obyek perdebatan para ahli sejarah, karena Boedi Oetomo, tidaklah menasional organisasinya, tetapi hanya melingkupi Jawa saja. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia.

Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para penjajah, --walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah—dengan membuat organisasi yang memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.

Nasionalisme Gelombang Kedua: Soempah Pemoeda 1928

Setetah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan, mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak mempengaruhi kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Bahkan, Soepomo terang-terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Demikian pula, pada masa ini banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.

Selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah aktif berdiskusi tentang masa depan negaranya, ketika mereka masih belajar di benua Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. Mereka inilah di masa pra & pascakemerdekaan yang nantinya banyak aktif berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia.

Di dalam negeri sendiri, Soekarno sejak remaja, masa mahasiswanya bahkan setelah lulus kuliahnya, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negerinya, lewat organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad 20. Soekarno menjadi penghuni langganan penginapan gratis di penjara Sukamiskin dan penjara-penjara yang lainnya.

20 tahun setelah kebangkitan nasional, kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para pemoeda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemoeda di tahun 1928.

Nasionalisme Gelombang Ketiga: Kemerdekaan 1945

Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para pemoeda yang menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah. Kurang dari 20 tahun (hanya 17 tahun), sejak Soempah Pemoeda dikumandangkan.

Cita-cita mengisi kemerdekaan yang sudah banyak didiskusikan oleh Soekarno, Hatta, Soepomo, Syahrir, dll sejak mereka masih berstatus mahasiswa, harus mengalami pembelokan implementasi di lapangan, karena Soekarno yang semakin otoriter dan keras kepala dengan cita-cita dan cara yang diyakininya.

Akhirnya Soekarno banyak ditinggalkan oleh para koleganya yang masih memegang idealismenya, dan mencapai puncaknya ketika Hatta, sebagai salah seorang proklamator, harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, karena tidak kuat menahan diri untuk terus menyetujui sikap dan tindakan sang Presiden yang semakin otoriter dan semau gue.

Nasionalisme Gelombang Keempat: Lahirnya Orde Baru 1966

Tepat 20 tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI dan eksesnya. Tanpa peran besar mahasiswa dan organisasi pemuda serta organisasi sosial kemasyarakatan di tahun 1966, Soeharto dan para tentara tidak mungkin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa orde-lama Soekarno.

Tetapi sayang, penguasa Orde Baru mendepak para pemuda dan mahasiswa yang telah menjadi motor utama pendorong mobil RI yang mogok, sekaligus penggantian sopir dari Soekarno ke Soerharto. Bahkan sejak akhir tahun 1970-an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus lewat NKK/BKK. Sebaliknya para tentara diguritakan ke dalam tatatan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.

Nasionalisme Gelombang Kelima: Lahirnya Orde Reformasi 1998

Bangunan rumah “Negara RI” dapat dijaga ketat dengan laras senapan ABRI lebih dari 20 tahun, yaitu hingga mencapai 1,5 kali lipatnya menjadi 32 tahun. Tetapi akhirnya goyah, walaupun bukan oleh gugatan para pemuda dan mahasiswa, tetapi oleh krisis moneter, yang menyingkap kain penutup “bangunan” negara RI, sehingga menampakkan pilar-pilar penyangganya yang sudah demikian kropos, digerogoti oleh rayap-rayap yang menjadi begitu gemuk dan makmur lewat jejaring KKN.

Gelombang krismon yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa dan pemuda, yang sudah termarjinalkan lewat laras ABRI, begitu muak melihat kenyataan bangunan RI.

Para pemuda berhasil menjatuhkan Soeharto dari kursinya. Tetapi sayang, para penggantinya tak dapat menyatukan seluruh kekuatan bangsa. Bahkan para pengganti Soeharto cenderung lebih parah dalam menggerogoti pilar-pilar bangunan yang masih tersisa.

Nasionalisme Gelombang Keenam: 2008? Atau 2018?

Siklus gelombang nasionalisme 20 tahunan di Indonesia, di jaman orde baru dapat dihambat dengan kekuatan militer. Di orde reformasi sekarang ini, para pemuda dan mahasiwa perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali nasionalisme gelombang keenam! Pemilu 2004 belum banyak harapan perubahan, karena pengikut orba masih lebih banyak dan lebih mendominasi dari pada pendukung reformasi.

Nasionalisme yang perlu diwujudkan di gelombang keenam nasionalisme, adalah bukan nasionalisme di gelombang-gelombang sebelumnya. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme gelombang keenam ini tidak dapat dibebankan pada pundak pejabat negara, perwira militer, atau kalangan intelektual saja, tetapi juga perlu mendengar dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan.

Penutup

Dalam setiap “revolusi” nasionalisme, peran pemuda dan mahasiswa tak pernah absen. Tetapi selama ini peran mereka hanya sebatas ‘menurunkan dan mengganti sopir’, kemudian mendorong mobil Indonesia hingga bisa jalan lagi, saat sopir baru perlu adaptasi mengemudi, karena sering tak pernah berpengalaman nyopir negara.

Setelah mobil jalan, mereka ketinggalan dalam cucuran keringat, kehabisan tenaga bercampur dengan asap knalpot mobil yang sudah melesat jauh meninggalkannya.

Para mahasiswa dan pelajar Indonesia di luar negeri, mungkin tidak bisa ikut aktif langsung seperti teman-temannya di tanah air, dalam usaha menekan ‘sopir mobil Indonesia’ yang terkesan gamang dan tak becus, sekarang ini. Tetapi bila mereka dapat belajar serius dan dapat memperoleh keahlian yang profesional, mereka-lah yang akan mengisi kursi-kursi kekuasaan yang terpaksa atau dipaksa ditinggalkan oleh generasi sebelumnya, untuk mewujudkan nasionalisme gelombang keenam.

Mau tidak mau pergantian pemegang tongkat estafet generasi pasti terjadi. Dan hanya mereka yang berpengalaman profesional saja-lah yang akan dapat membangun kembali bangunan rumah Indonesia menjadi lebih baik,melindungi dan menyejahterakan seluruh penghuninya, menuju masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin, sebagai perwujudan nasionalisme gelombang keenam!

Kita tunggu kiprah dan peran serta para pemuda dan mahasiswa Indonesia, nasionalisme Indonesia di gelombang keenam yang akan datang. Kita pilih 2008 atau 2018?

*) A. Fanar Syukri, M.Sc; Karyasiswa KIM-LIPI di program doktor di Socio-Infomatics Research Laboratory, Graduate School of Information Science, the University of Electo-Communications, Tokyo Japan. Sedang mengedit buku berjudul “Mahasiswa dan Perannya – sebuah Refleksi” kumpulan artikel 50 tahun PPI Jepang.

Manyak yang bersama Ketua DPD PAN Medan, Ahmad Arif, SE, MM menjadi Caleg PAN Dapil Medan I dalam Pemilu 2009 ini menjelaskan, pentingnya peran generasi muda karena selain sumber daya alam, kekuatan suatu bangsa itu sebenarnya juga terletak kekuatan sumber daya manusia (SDM) generasi muda bangsa tersebut.

“Karena tanpa adanya SDM generasi muda muda, maka akan sia-sia saja kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Terbukti, sudah 63 tahun merdeka, kondisi masyarakat tetap memprihatinkan padahal sumber daya alam Indonesia berlimpah,” kata mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU) tersebut.

Menurut Manyak, saat ini generasi muda bisa lega tidak mengalami penjajahan karena keberhasilan para pejuang merebut kemerdakaan dari penjajah. “Namun, euforia itu jangan sampai membuat kita lengah karena sesungguhnya masih ada fase panjang yang tidak kalah sulitnya kita lalui yakni mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,” kata pengusaha Sumut yang sudah hampir lima tahun menggeluti bidang rangka baja ringan dan property tersebut.

Mahasiswa Universitas Lampung (unila) dan Perguruan Tinggi Teknokra juga turut memeriahkan peringatan kemerdekaan RI dengan menggelar beberapa pertandingan kreatif.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) AMIK Teknokrat Parjito mengatakan perlombaan diikuti sekitar seratus peserta dari dosen, mahasiswa, dan karyawan Teknokrat. Lomba yang diadakan adalah sepak bola terong, pecah balon, makan pisang, voli terpal, joget bola, mangambil koin, lempar bola, dan futsal memakai sarung.

Sementara peringatan kemerdekaan di Unila dimeriahkan dengan 15 macam perlombaan, lomba merias wajah, kasti estafet, orasi, makan kerupuk, balap karung, memasukkan belut ke botol, paku tim, giring tampah, joget balon, bakiak, gigit koin, futsal, dan karaoke.

Perlombaan di Unila diikuti oleh beberapa Unit kegiatan Mahasiswa Universitas. Lomba dilangsungkan Jumat hingga Minggu (15--17 Agustus). UKM yang mengikuti lomba adalah UKM Menwa, UKM Filateli, UKM Pramuka, UKM Mapala, UKM Kopma, UKM Bidang Seni, UKM Rakanila, UKM Tapak Suci, UKM Taekwondo, UKM Zoom, UKM KSR, UKM Paduan Suara Mahasiswa, dan UKPM Teknokra. Mahasiswa Universitas Lampung (unila) dan Perguruan Tinggi Teknokra juga turut memeriahkan peringatan kemerdekaan RI dengan menggelar beberapa pertandingan kreatif.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) AMIK Teknokrat Parjito mengatakan perlombaan diikuti sekitar seratus peserta dari dosen, mahasiswa, dan karyawan Teknokrat. Lomba yang diadakan adalah sepak bola terong, pecah balon, makan pisang, voli terpal, joget bola, mangambil koin, lempar bola, dan futsal memakai sarung.

Sementara peringatan kemerdekaan di Unila dimeriahkan dengan 15 macam perlombaan, lomba merias wajah, kasti estafet, orasi, makan kerupuk, balap karung, memasukkan belut ke botol, paku tim, giring tampah, joget balon, bakiak, gigit koin, futsal, dan karaoke.

Perlombaan di Unila diikuti oleh beberapa Unit kegiatan Mahasiswa Universitas. Lomba dilangsungkan Jumat hingga Minggu (15--17 Agustus). UKM yang mengikuti lomba adalah UKM Menwa, UKM Filateli, UKM Pramuka, UKM Mapala, UKM Kopma, UKM Bidang Seni, UKM Rakanila, UKM Tapak Suci, UKM Taekwondo, UKM Zoom, UKM KSR, UKM Paduan Suara Mahasiswa, dan UKPM Teknokra.

1 komentar:

  1. Selamat siang,

    artikel ini saya jadikan referensi artikel sejarah ya.

    Sukses selalu!

    BalasHapus